doa ibu
 
        
        
        

Apa jadinya kalau ibu menuntut “uang jasa” atas 
keberadaan kita selama sembilan bulan lebih di rahimnya? Berapa banyak 
uang yang harus kita bayar untuk mengganti biaya persalinan, biaya 
pemeliharaan serta biaya ASI? Tampaknya daftar tagihan akan makin 
panjang jika ibu memasukkan biaya pengasuhan, biaya pendidikan, 
kesehatan, sandang, pangan, tempat tinggal, bahkan sampai biaya 
pernikahan.
Alhamdulillah, ibu kita mewarisi sifat Rahmân dan Rahîm-Nya
 Allah Swt. Tak terpikir oleh mereka membuat tagihan untuk anak-anaknya.
 Yang ada justru keinginan memberi dan terus memberi. Seperti halnya 
Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, cinta mereka—dalam 
kapasitasnya sebagai manusia—adalah “cinta tak bersyarat” atau unconditional love.
 Cinta mereka adalah “cinta walaupun” bukan “cinta karena”. Mereka 
mencintai anak-anaknya, “walaupun” anaknya tidak tahu terima kasih, 
“walaupun” anaknya sering menyakiti, dsb.
Demikian besarnya jasa seorang ibu, Rasulullah saw. sampai menegaskan
 bahwa apa pun yang diberikan seorang anak kepada orangtuanya tidak akan
 pernah cukup membalas budi baiknya. Betapa hebatnya pengorbanan Uways 
Qarni yang ratusan mil menggendong ibunya, sehingga dari jauh Rasulullah
 saw. dapat mencium bau kemuliaannya. Namun, apa yang dikatakan Rasul? 
Walau Uways menggendong ibunya lebih jauh lagi, ia tidak akan pernah 
mampu membalas budi baiknya.
Itulah mengapa bakti seorang anak kepada orangtua harus mencapai 
derajat ihsan. Ihsan ini lebih tinggi derajatnya daripada adil. Yaitu 
“hanya” memperlakukan orangtua seperti memperlakukan diri. Ihsan kepada 
orangtua artinya memperlakukan mereka lebih baik dari memperlakukan diri
 sendiri, memberi lebih banyak daripada apa yang harusnya kita beri, dan
 mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya kita ambil. Dalam Al 
Qur’an, tidak kurang dari lima kali Allah Swt. memerintahkan kita 
berlaku ihsan kepada orangtua (QS 2:83, 4:36, 6:151, 17:23, 46:15). 
Padahal, dalam Al Qur’an kata ihsan hanya disebutkan enam kali saja.
Tampaknya, tidak seorang pun di antara kita yang menyangkal bahwa 
peran ibu teramat luar biasa dalam hidup kita. Namun, apakah kita tahu 
bahwa ibu-lah yang mewariskan terangnya dunia serta indahnya nada-nada 
bagi kita? Teori terdahulu menyebutkan karakteristik dan sifat-sifat 
bawaan seorang anak diwariskan dari ibu bapaknya dalam proporsi 50-50. 
Namun penelitian biologi molekuler terbaru menemukan bahwa seorang ibu 
mewariskan 75 persen unsur genetikanya kepada anak. Sedangkan bapak 
hanya 25 persen. Karena itu, sifat baik, kecerdasan serta keshalihan 
seorang anak sangat ditentukan oleh sifat baik, kecerdasan serta 
keshalihan ibunya. Apa yang disabdakan Rasulullah saw. ternyata memiliki
 korelasi dengan fakta ini. Ketika seorang sahabat bertanya, mana yang 
harus diprioritaskan seorang anak, beliau pun menjawab, “Ibumu, ibumu, ibumu …. lalu bapakmu”.
Dalam setiap sel manusia ada sebuah organela yang sangat strategis fungsinya. Organela ini dinamakan mitokondria. Organelnya
 berongga berbentuk bulat lonjong, selaputnya terdiri dari dua lapis 
membran, membran dalam bertonjolan ke dalam rongga (matriks), serta 
mengandung banyak enzim pernapasan. Tugas utama mitokondria adalah 
memproduksi kimia tubuh bernama ATP (adenosin tri phosphat). Energi hasil reaksi dari ATP inilah yang menjadi sumber energi bagi manusia.
Mitokondria bersifat semiotonom karena 40 persen kebutuhan 
protein dan enzimnya dihasilkan sendiri oleh gennya. Mitokondria adalah 
salah-satu bagian sel yang punya DNA sendiri, selebihnya dihasilkan gen 
di inti sel. Yang menarik, mitokondria ini hanya diwariskan oleh 
ibu, tidak oleh ayah. Sebab, mitokondria berasal dari sel telur bukan 
dari sel sperma. Itulah sebabnya investasi seorang ibu dalam diri anak 
mencapai 75 persen.
Kita dapat berkata, inilah organela cinta seorang ibu yang menghubungkan kita dengan Allah Azza wa Jalla dan kesemestaan.
 Tanpa mitokondria, hidup manusia menjadi hampa, tidak ada energi yang 
mampu menggelorakan semangat hidup, sehingga tidak akan ada perabadan 
manusia yang tercipta. Tanpa mitokondria kita tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, hingga akhirnya tidak bisa membaca. Allah Swt. berfirman, ”Kemudian
 Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh (ciptaan)-Nya 
dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi)
 kamu sedikit sekali bersyukur (QS As Sajdah, 32: 9). Tanpa adanya 
mitokondria di mata, kita akan buta. Tanpa adanya mitokondria di 
telinga, kita akan tuli. Tanpa adanya mitokondria di kulit, kita mati 
rasa. Tanpa adanya mitokondria di hidung, kita buta aroma. Sesungguhnya,
 kita menjadi ”buta”, ”tuli”, dan ”tak berperasaan”, boleh jadi karena 
ibu tidak ridha mewariskannya. Bukankah ridha seorang ibu adalah syarat 
datangnya kebahagiaan?
Itulah mengapa kontak batin antara ibu dan anaknya, walau terhalang 
jarak sejauh apa pun, begitu kuat dan intens. Hal ini memperlihatkan 
adanya energi cinta yang menembus dimensi. Sebenarnya, teori superstring
 yang kita ambil dari ilmu Fisika sedikit bisa menjelaskan hal ini. 
Beberapa tahun lalu, para ilmuwan MIT yang tergabung dalam Kelompok 18, 
menemukan sebuah supersimetri, yaitu sebuah persamaan matematika yang 
menciptakan ruang di alam semesta yang terdiri dari 57 bentuk di 248 
dimensi. Konsep supersimetri menyebutkan, andai dunia ini dibagi-bagi 
seperti apa pun, sebenarnya hanya satu titik. Dengan kata lain, ilmu 
pengetahuan baru menemukan bahwa jarak itu tidak bisa membatasi jiwa dan
 ruh yang bersemayam di titik yang sama.
Kalau kita menggunakan konsep ini, maka di mana pun berada, hati 
seorang ibu selalu berada di titik yang sama. Karena itu, apa yang 
dirasakan anak dan apa yang dirasakan ibu, bioelektriknya berada di 
titik yang sama. Mitokondrianya sama sehingga titik pertemuannya pun 
sama. Dengan kata lain, perasaan seorang ibu kepada anaknya bagaikan 
perasaan ia terhadap dirinya sendiri. Anak menderita, ibu pun ikut 
menderita. Anak sakit, ibu pun ikut sakit. Anak bahagia, ibu pun ikut 
bahagia. Begitulah ibu kita. Itulah mengapa, doa seorang ibu kepada buah
 hatinya senantiasa tepat, jarang meleset, dan efeknya begitu cepat.
Di sini kita dapat membayangkan, betapa perjuangan seorang ibu tidak 
hanya sebatas hamil, melahir, menyusui, merawat, serta membesarkan 
anak-anaknya. Ibu pun harus mewariskan fungsi biologis yang sempurna 
agar kita dapat merasakan indahnya dunia. Sudahkah kita membalas cinta 
ibu? Atau, kita malah membalasnya dengan sumpah serapah, suara ketus, 
bentakan, tatapan mata menghina, tidak mempedulikan nasihatnya, atau 
sekadar membiarkannya kesepian karena kita terlalu sibuk dengan 
pekerjaan sehingga tidak punya waktu sekadar untuk ”say hello” via SMS kepadanya!
Ada doa yang sangat menyentuh yang diungkapkan oleh Syaikh Muhammad 
Al Hadhrami, “Bacaan apa pun yang kami baca dan Engkau sucikan, shalat 
apa pun yang kami dirikan dan Engkau terima, zakat dan sedekah
 apa pun yang kami keluarkan dan Engkau sucikan serta kembangkan, amal 
saleh apa pun yang kami kerjakan dan Engkau ridhai, maka mohon kiranya 
ganjaran mereka lebih besar dari ganjaran yang Engkau anugerahkan kepada
 kami, bagian mereka hendaknya lebih banyak dari yang Engkau limpahkan 
kepada kami, serta perolehan mereka lebih berlipat ganda dari perolehan 
kami. Karena Engkau, ya Allah, telah berwasiat agar kami berbakti kepada
 mereka, dan memerintahkan kami mensyukuri mereka, sedangkan Engkau 
lebih utama berbuat kebajikan dari semua makhluk yang berbuat kebajikan,
 serta lebih wajar memberi dibanding siapa pun yang diperintahkan 
memberi …”.
 
”Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu 
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu 
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya 
atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka 
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ’ah’ dan
 janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan 
yang mulia.”
— QS Al Isrâ’, 17: 23 —
 
 
 
 
          
      
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar